BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG
Empiema merupakan salah satu penyakit yang sudah lama
ditemukan dan berat. Saat ini terdapat 6500 penderita di USA dan UK yang
menderita empiema dan efusi parah pneumonia tiap tahun, dengan mortalitas sebanyak 20% dan
menghabiskan dana rumah sakit sebesar 500 juta dolar. Di Indonesia terdapat 5 –
10% kasus anak dengan empiema toraks. Empiema toraks didefinisikan sebagai
suatu infeksi pada ruang pleura yang berhubungan dengan pembentukan cairan yang
kental dan purulen baik terlokalisasi atau bebas dalam ruang pleura yang
disebabkan karena adanya dead space, media biakan pada cairan pleura dan
inokulasi bakteri.
Empiema juga dapat terjadi akibat dari keadaan keadaan
seperti septikemia, sepsis, tromboflebitis, pneumotoraks spontan,
mediastinitis, atau ruptur esofagus. Infeksi ruang pleura turut mengambil peran
pada terjadinya empiema sejak jaman kuno. Aristoteles menemukan peningkatan
angka kesakitan dan kematian berhubungan dengan empiema dan menggambarkan
adanya drainase cairan pleura setelah dilakukan insisi. sebagian dari terapi
empiema masih diterapkan dalam pengobatan modern. Dalam tulisan yang dibuat
pada tahun 1901 yang berjudul The Principles and Practice of Medicine, William
Osler, mengemukakan bahwa sebaiknya empiema ditangani selayaknya abses pada
umumnya yakni insisi dan penyaliran.
Melakukan asuhan keperawatan (askep) pada pasien dengan
Empiema merupakan aspek legal bagi seorang perawat walaupun format model asuhan
keperawatan di berbagai rumah sakit berbeda-beda. Seorang perawat profesional
di dorong untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan seoptimal mungkin,
memberikan informasi secara benar dengan memperhatikan aspek legal etik yang
berlaku. Metode perawatan yang baik dan benar merupakan salah satu aspek yang
dapat menentukan kualitas “asuhan keperawatan” (askep) yang diberikan yang
secara langsung maupun tidak langsung dapat meningkatkan brand kita sebagai
perawat profesional dalam pelayanan pasien gangguan hisprung. Pemberian
asuhan keperawatan pada tingkat anak, remaja, dewasa, hingga lanjut usia hingga
bagaimana kita menerapkan manajemen asuhan keperawatan secara tepat dan ilmiah
diharapkan mampu meningkatkan kompetensi perawat khususnya.
1.2
RUMUSAN MASALAH
1.2.1 Bagaimana konsep penyakit empiema
1.2.2
Bagaimana
proses asuhan keperawatan pada pasien dengan empiema
1.3
TUJUAN
1.3.1
Tujuan
umum
Mengetahui bagaimana proses asuhan keperawatan pada pasien
empiema.
1.3.2
Tujuan
khusus
·
Mengidentifikasi
konsep empiema meliputi definisi, etiologi, manifestasi klinis dan
patofisiologi
·
Mengidentifikasi proses keperawatan pada empiema
meliputi pengkajian, analisis data dan diagnosa, intervensi
1.4 MANFAAT
1.4.1
Mahasiswa memahami konsep dan proses
keperawatan pada klien dengan gangguan empiema shingga menunjang pembelajaran
mata kuliah respirasi
1.4.2
Mahasiswa mengetahui proses keperawatan
yang benar sehingga dapat menjadui bekal dalam persiapan praktik di rumah sakit
BAB II
KONSEP PENYAKIT
2.1 DEFINISI
Ada beberapa pengertian mengenai
empiema, yaitu:
a. Empiema adalah keadaan terkumpulnya
nanah (pus) didalam ronggga pleura dapat setempat atau mengisi seluruh rongga
pleura (Ngastiyah, 1997).
b. Empiema adalah penumpukan cairan
terinfeksi atau pus pada cavitas pleura (Baughman, 2000).
c. Empiema adalah penumpukan materi
purulen pada areal pleural (Hudak & Gallo, 1997)
Secara garis besar, empiema adalah
suatu efusi pleura eksudat yang disebabkan oleh infeksi langsung pada rongga
pleura yang menyebabkan cairan pleura menjadi purulen atau keruh. Pada empiema
terdapat cairan pleura yang mana pada kultur dijumpai bakteri atau sel darah
putih > 15.000 / mm3 dan protein > 3 gr/ dL.(sumber: www.medicastore.com, 2008).
2.2 KLASIFIKASI DAN
STADIUM
PENYAKIT EMFIEMA
Empiema dibagi
menjadi dua:
1.
Empiema Akut
Empiema
akut disebabkan oleh infeksi akut di paru atau diluar paru. Mungkin pada fase
infeksi, cairan tidak tampak sebagai pus tetapi sebagai cairan jernih kuning
atau kekuning-kuningan. Sering timbul endapan fibrin sehingga sulit
mengeluarkan nanahnya.
Empiema
dapat berasal dari radang paru seperti pneumonia atau abses. Infeksi dari luar
dapat disebabkan oleh trauma atau secara iatrogenic. Abses amuba atau infeksi
pleuritis eksudativa juga dapat mengakibatkan empiema akut; akhirnya harus
disebut juga fungus sebagai penyebab.
2.
Empiema
Kronik
Empiema
disebut kronik bila paru sudah tidak bisa mengempis lagi ketika rongga pleura
dibuka atau ketika dibuat hubungan langsung dengan dunia luar, umumnya keadaan
ini disebabkan oleh terbentuknya fibrin yang merupakan pembukus tebal (sampai 1
cm) dan keras yang disebut korteks empiema. Karena adanya korteks
ini paru tidak dapat menguncup bila rongga pleura dibuka. Kadang empiema
menembus dinding dada sampai menyebabkan fistel kulit. Keadaan ini disebut
empiema nesesitasis.
Apabila
pleura parietalis dan viseralis menyatu pada tempat tertentu terjadi yang
disebut lakunasi, sehingga empiema terdapat dibeberapa ruang. Karena kronik ini
dapat terjadi karena penyebab empiema tidak dihilangkan, mungkin juga karena
adanya benda asing.
Ada
tiga stadium empiema toraks yaitu:
a.
Stadium 1
Disebut
juga stadium eksudatif atau stadium akut, yang terjadi pada hari-hari pertama
saat efusi. Inflamasi pleura menyebabkan peningkatan permeabilitas dan terjadi
penimbunan cairan pleura namun masih sedikit. Cairan yang dihasilkan mengandung
elemen seluler yang kebanyakan terdirir atas neutrofil.stadium ini terjadi
selama 24 – 72 jam dan kemudian berkembang menjadi stadium fibropurulen. Cairan
pleura mengalir bebas dan dikarakterisasi dengan jumlah darah putih yang rendah
dan enzim laktat dehidrogenase (LDH) yang rendah serta glukosa dan pH yang
normal, drainase yang dilakukan sedini mungkin dapat mempercepat perbaikan.
b.
Stadium 2
Disebut
juga dengan stadium fibropurulen atau stadium transisional yang dikarakterisasi
dengan inflamasi pleura yang meluas dan bertambahnya kekentalan dan kekeruhan
cairan. Cairan dapat berisi banyak leukosit polimorfonuklear, bakteri dan
debris seluler. Akumulasi protein dan fibrin disertai pembentukan membrane
fibrin, yang membentuk bagian atau lokulasi dalam ruang pleura. Saat stadium
ini berlanjut, pH cairan pleura dan glukosa menjadi rendah sedangkan LDH
meningkat. Stadium ini berakhir setelah 7 – 10 hari dan sering membuntuhkan
penanganan yang lanjut seperti torakostomi dan pemasangan tube.
c.
Stadium 3
Disebut
juga stadium organisasi (kronik). Terjadi pembentukan kulit fibrinosa pada
membrane pleura, membentuk jaringan yang mencegah ekspansi pleura dan membentuk
lokulasi intrapleura yang menghalangi jalannya tuba torakostomi untuk drainase.
Kulit pleura yang kental terbentuk dari resorpsi cairan dan merupakan hasil
dari proliferasi fibroblast. Parenkim paru menjadi terperangkap dan terjadi
pembentukan fibrotoraks. Stadium ini biasanya terjadi selama 2 – 4 minggu
setelah gejala awal.
2.3
ANATOMI FISIOLOGI
Pleura adalah
membran serosa yang licin, mengkilat, tipis dan transparan. Membran ini
menutupi jaringan paru dan terdiri dari 2 lapis:
- Pleura viseralis: terletak disebelah dalam, langsung menutupi permukaan paru.
- Pleura parietalis: terletak disebelah luar, berhubungan dengan dinding dada.
Pleura parietalis dan viseralis terdiri atas selapis
mesotel (yang memproduksi cairan), membran basalis, jaringan elastik dan
kolagen, pembuluh darah dan limfe.
Membran pleura bersifat semipermiabel. Sejumlah cairan terus
menerus merembes keluar dari pembuluh darah yang melalui pleura parietal.
Cairan ini diserap oleh pembuluh darah pleura viseralis, dialirkan ke pembuluh
limfe dan kembali kedarah. Efusi terjadi jika pemnbentukan cairan oleh pleura parietalis
melampau batas pengambilan yang dilakukan pleura viseralis.
Rongga pleura adalah rongga potensial, mempunyai ukuran
tebal 10-20 mm, berisi sekitar 10 cc cairan jernih yang tidak bewarna,
mengandung protein < 1,5 gr/dl dan ± 1.500 sel/ml. Sel cairan pleura
didominasi oleh monosit, sejumlah kecil limfosit, makrofag dan sel mesotel. Sel
polimorphonuklear
dan sel darah merah dijumpai dalam jumlah yang sangat kecil didalam cairan
pleura.
Selain
itu, rongga
pleura (ruang intrapleural) adalah ruang potensial antara pleura parietal dan
viseral yang mengandung lapisan tipis cairan pelumas. Cairan ini disekresi oleh
sel-sel pleural sehingga paru-paru dapat mengembang tanpa melakukan friksi.
Tekanan dalam rongga pleura
lebih rendah dari tekanan atmosfir sehingga mencegah terjadinya kolaps paru.
Jika pleura bermasalah seperti mengalami peradangan, maka udara atau cairan
dapat masuk kedalam rongga pleura. Hal tersebut dapat menyebab kan peru-paru
tertekan dan kolaps.
Volume
cairan pleura selalu konstan, dipengaruhi oleh tekanan hidrostatik sebesar 9 mmHg , diproduksi oleh pleura parietalis,
serta tekanan koloid osmotik sebesar 10 mmHg yang selanjutnya akan diabsorbsi
oleh pleura viseralis. Penyebab akumulasi cairan pleura adalah sebagai berikut
:
1.
Menurunnya
tekanan koloid osmotik (hipolbuminemia)
2.
Meningkatnya
permeabilitas kapiler (radang, neoplasma)
3.
Meningkatnya
tekanan hidrostatik (gagal jantung)
4.
Meningkatnya
tekanan negatif intrapleura (atelektasis)
2.4 ETIOLOGI
Penyebab Empiema biasanya disebabkan oleh infeksi yang menyebar dari paru-paru. Ini
menyebabkan penumpukan nanah di ruang pleura. Adanya terdapat
setengah liter atau lebih dari cairan yang terinfeksi. Cairan ini memberikan
tekanan pada paru-paru. Faktor risiko meliputi: Bakteri pneumonia Operasi dada
Trauma atau cedera.
1.
Berasal dari Paru
a.
Pneumonia
Infeksi
paru seperti pneumonia dapat menyebar secara langsung ke pleura., penyebaran melalui sistem limfatik
atau penyebaran secara hematogen. Penyebaran juga bisa terjadi akibat adanya
nekrosis jaringan akibat pneumonia.
b.
Abses Paru
Abses
akibat aspirasi paling sering terjadi pada segmen posterior lobus atas dan
segmen apikal lobus bawah, dan sering terjadi pada paru kanan, karena bronkus
utama kanan lebih lurus dibanding kiri. Abses bisa mengalami ruptur ke dalam
bronkus, dengan isinya diekspektorasikan keluar dengan meninggalkan kavitas
yang berisi air dan udara, kadang-kadang abses ruptur ke rongga pleura sehingga
terjadi empiema..
2.
Infeksi
Diluar Paru
Trauma
Pembedahan. Pembedahan thorak yang tidak steril dapat mengakibatkan masuknya
kuman ke rongga pleura sehingga terjadi peradangan di rongga pleura yang dapat
menimbulkan empiema. Akibat instrument bedah, rupturnya esophagus, bocornya
anastomis esophagus dan fistula bronkopleural yang
diikuti dengan pneumonektomi.
3.
Bakteriologi
Sebelum antibiotic berkembang,
pneumokokus (Streptococus pneumoniae) dan Streptococus b hemolyticus (Sterptococus
pyogenes) adalah penyebab empiema yang terbesar di bandingkan sekarang.
Basil gram negatif seperti Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Proteus
species dan Klebsiella pneumoniae merupakan grup yang terbesar dan
hampir 30 % dijumpai pada hasil isolasi setelah berkurangnya kejadian empiema
sebagai komplikasi pneumonia pneumokokus.
Staphilococcus aureus adalah bakteri gram positif dengan
sifatnya yang dapat menghemolisa darah dan mengkoagulasi plasma. Bakteri ini
tumbuh dalam keadaan aerob, bakteri ini dapat memproduksi eksotoksin yang dapat
menghemolisis eritrosit, kemudian leukocidin yang dapat membunuh leukosit, dan
menyebabkan peradangan pada rongga pleura.
Staphylococcus aureus merupakan organisme penyebab infeksi
yang paling sering menyebabkan empiema pada anak-anak, terutama pada bayi
sekitar 92 % empiema pada anak-anak di bawah 2 tahun. Bakteri gram negatif yang
lain Haemophilus influenzae adalah penyebab empiema pada anak-anak.
Empiema juga dapat disebabkan
organisme yang lain seperti empiema tuberkulosis yang sekarang jarang dijumpai
pada negara berkembang. Empiema jarang disebabkan oleh jamur, terutama pada
penderita yang mengalami penurunan daya tahan tubuh (Immunocompromised).
Aspergillus species dapat menginfeksi rongga pleura dan dapat
menyebabkan empiema dan ini terkadang terjadi pada penderita yang mengalami
penurunan daya tahan tubuh yang dapat menyebabkan penyakit paru-paru dan pleura
yang serius walaupun jarang.
Untuk terjadinya infeksi paru-paru,
kuman pathogen harus dapat melewati saluran pernapasan bawah. Kebanyakan orang
dewasa telah memiliki antibodi untuk beberapa jenis virus yang umum, dan
kebanyakan infeksi virus bersifat ringan.
2.5 MANIFESTASI
KLINIS
a.
Empiema Akut
Dari
anamnesis ditemukan batuk-batuk yang tidak produktif setelah suatu infeksi paru
atau bronkopneumonia, atau terdapat gejala dan tanda yang sesuai dengan
penyebab lain. Biasanya penderita mengeluh nyeri dada kalau cairan belum
banyak. Penderita tampak sakit berat, pucat, sesak napas, dan mungkin terdapat
napas cuping hidung. Pada palpasi, fremitus vocal melemah, pada perkusi
ditemukan pekak yang memberikan gambaran garis melengkung, sedangkan auskultasi
mungkin memperdengarkan krepitasi, bising napas yang hilang, atau ronki yang
menghilang di batas cairan.
b.
Empiema Kronik
Dari
anamnesis dapat diketahui apakah ada penyakit yang sudah lama diderta, misalnya
tuberculosis paru, bronkiektasis, abses hepar, abses paru, atau kanker paru.
Pada pemeriksaan biasanya keadaan umum tidak baik, demam, gizi kurang, dada
yang terkena lebih kecil dari yang sebelah, dan gerakan pernapasan tertinggal
baik pada akhir inspirasi atau ekspirasi. Pada palpasi fremitus vocal sering
meninggi tetapi kadang-kadang melemah. Perkusi redup sampai pekak tergantung
dari keadaan fibrosisnya.
Tanda-tanda empiema :
- Demam dan keluar keringat malam.
- Nyeri pleura.
- Dispnea.
- Anoreksia dan penurunan berat badan.
- Pada auskultasi dada ditemukan penurunan suara napas.
- Pada perkusi dada ditemukan suara flatness.
- Pada palpasi ditemukan penurunan fremitus.
Jika pasien dapat menerima terapi
antimikroba, manifestasi klinis akan dapat dikurangi. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan hasil dari chest X-ray dan thoracentesis.
2.6 PATOFISIOLOGI
Akibat invasi kuman piogen ke pleura timbul peradangan
akut yang diikuti dengan pembentukkan eksudat serosa/cairan yang mengandung
protein. Dengan semakin banyak nya sel-sel polymorphonuclear (PMN) baik yang
hidup atau yang mati serta peningkatan kadar cairan menjadi keruh dan kental
serta adanya endapan fibrin akan membentuk kantong-kantong yang melokalisir pus
tersebut. Apabila nanah menembus bronkus, maka timbul fistel
bronkopleural yang menembus dinding thorak dan keluar melalu kulit yang disebut
empiema nessensiatis.Stadium ini masih disebut empiema akut yang lama kelamaan
menjadi kronis.
Mekanisme
penyebaran infeksi sehingga mencapai rongga pleura :
1.
Infeksi paru.
infeksi
paru seperti pneumonia dapat menyebar secara langsung ke pleura, penyebaran
melalui sistem limfatik atau penyebaran secara hematogen. Penyebaran juga bisa
terjadi akibat adanya nekrosis jaringan akibat pneumonia atau adanya abses yang
ruftur ke rongga pleura.
2.
Mediastinum.. kuman-kuman dapat masuk ke rongga pleura
melalui tracheal fistula, esofageal fistula, asanya abses di kelenjar
mediastinum.
3.
Subdiafragma, asanya proses di
peritoneal atau di visceral dapat juga menyebar ke rongga pleura.
4.
Inokulasi langsung. inokulasi langsung dapat terjadi akibat
trauma, piatrogenik,
pasca operasi. Pasca operasi dapat terjadi infeksi dari hemotoraks atau adanya
leak dari bronkus.
Proses infeksi di paru seperti
pneumonia, abses paru, sering mengakibatkan efusi parapneumonik yang merupakan
awal terjadinya empiema, ada tiga fase perjalan efusi parapneumonik.
·
fase pertama atau fase eksudatif yang
ditandai dengan penumpukan cairan pleura yang disteril dengan cepat dirongga pleura.
Peumpukan cairan tersebut akibat peninggian permeabilitas kapiler di pleura
visceralis yang diakibatkan pneumonitis. Cairan ini memiliki karakteristik
rendah lekosit, rendah LDH, normal glukosa, dan normal pH.
·
Bila
pemberian antibiotik tidak tepat, bakteri yang berasal dari proses pneumonitis
tersebut akan menginvasi cairan pleura yang akan mengawali terjadinya fase
kedua yaitu fase fibropurulen pada fase ini cairan pleura mempunyai
karakteristik PMN lekosit tinggi, dijumpai bakteri dan debris selular, pH dan
glukosa rendah dan LDH tinggi. Pasa fase ini, penanganan tidak
cukup hanya dengan antibiotik tetapi memerlukan tindakan lain seperti
pemasangan selang dada.
·
Bila penanganan juga kurang baik,
penyakit akan memasuki fase akhir yaitu fase organization. Pada fase ini
fibroblas akan berkembang ke eksudat dari permukaan pleura visceralis dan
parietalis dan membentuk membran yang tidak elastis yang dinamakan pleural
feel. Pleural feel ini akan menyelubungi paru dan menghalangi paru untuk
mengembang. Pada fase ini eksudat sangat kental dan bila penanganan tetap tidak
baik, penyakit dapat berlanjut menjadi empiema.
secara umum, empiema bisa merupakan
komplikasi dari: Pneumonia, infeksi pada cedera di dada, pembedahan
dada, pecahnya kerongkongan, dan abses di perut.
Adapun komplikasi secara khusus yang
dapat timbul dari empiema adalah sebagai berikut:
a. Bula yang terbesar terbentuk karena
bersatunya alveoli yang pecah sehingga dapat memperburuk fungsi dari
pernapasan.
b. Pneumotoraks yang disebabkan oleh
karena pecahnya bula kadang-kadang dapat berubah menjadi ventil pneumotoraks.
c. Kagagalan pernapasan dank or
pulmonale merupakan komplikasi terakhir dari empiema. Kematian justru terjadi
setelah terjadinya kegagalan pernapasan. Pada tipe pink puffer, walaupun
pasien tampak sangat sesak akan terapi O2 dan CO2 darah masih dalam batas
normal.
d. Terjadinya penurunan berat badan
yang hebat, terutama pada usia muda.
e. Infeksi pleura mengarah ke sepsis,
perlu diadakan evaluasi pepsis secara menyeluruh, misalnya foto dada.
f. Sepsis, yang mana pertama sekali
dapat membentuk abses subfrenik sebelum menyebar ke rongga pleura melalui
aliran getah bening.
2.7
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.
Pemeriksaan Radiologi
§
Foto thoraks PA dan lateral didapatkan
gambaran opacity yang menunjukan adanya cairan dengan atau tanpa kelaina paru.
Bila terjadi fibrothoraks , trakhea di mediastinum tertarik ke sisi yang sakit
dan juga tampak adanya penebalan.
§
Cairan pleura bebas dapat terlihat
sebagai gambaran tumpul di sudut kostofrenikus pada posisi posteroanterior atau
lateral.
§
Dijumpai gambaran yang homogen pada
daerah posterolateral dengan gambaran opak yang konveks pada bagian anterior
yang disebut dengan D-shaped shadow yang mungkin disebabkan oleh obliterasi
sudut kostofrenikus ipsilateral pada gambaran posteroanterior.
§
Organ-organ mediastinum terlihat
terdorong ke sisi yang berlawanan dengan efusi.
§
Air-fluid level dapat dijumpai jika
disertai dengan pneumotoraks, fistula bronkopleural.
2.
Pemeriksaan pus
Aspirasi pleura akan
menunjukan adanya pus di dalam rongga dada(pleura). Pus dipakai
sebagai bahan pemeriksaan sitologi , bakteriologi, jamur dan amoeba. Untuk
selanjutnya, dilakukan jkultur (pembiakan) terhadap kepekaan antobiotik.
3. Pemeriksaan
ultrasonografi (USG)
§
Pemeriksaan dapat menunjukkan adanya
septa atau sekat pada suatu empiema yang terlokalisir.
§
Pemeriksaan ini juga dapat membantu
untuk menentukan letak empiema yang perlu dilakukan aspirasi atau pemasangan
pipa drain.
4.
Pemeriksaan CT scan :
§ Pemeriksaan
CT scan dapat menunjukkan adanya suatu penebalan dari pleura.
§ Kadang
dijumpai limfadenopati inflamatori intratoraks pada CT scan
5.
Sinar x.
Mengidentifikasi distribusi struktural, menyatakan abses
luas/infiltrate, empiema (strafilokokus). Infiltrat menyebar atau terlokalisir
(bacterial).
6.
GDA /nadi oksimetri.
Tidak
normal mungkin terjadi,tergantung pada luas paru yang terlibat dan penyakit
paru yang ada.
7.
Tes fungsi paru.
Dilakukan
untuk menentukan penyebab dipsnea, untuk menentukan apakah fungsi abnormal
adalah obstruksi atau restriksi,untuk memperkirakan derajat disfungsi.
8.
Pemeriksaan Gram/kultur sputum dan darah
Dapat diambil dengan biopsy jarum,aspirasi
transtrakeal,bronkoskopi fiberoptik atau biopsy pembukaan paru untuk mengatasi
organisme penyebab.Lebih dari satu tipe organisme ada: bakteri yang umum
meliputi diplokokus pneumonia,strafilokokus aureus,A-hemolitik
streptokokus,haemophilus influenza:CMV.Catatan: kultur sputum dapat tak
mengidentifikasi semua organisme yang ada,kultur darah dapat menunjukkan
bakterimia sementara.
9.
EKG latihan,tes stress
Membantu
dalam mengkaji derajat disfungsi paru perencanaan/evaluasi program latihan.
2.8 PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan adalah untuk menyembuhkan infeksi dan
menghapus pengumpulan nanah dari ruang antara paru dan permukaan bagian dalam
dari dinding dada. Antibiotik yang diresepkan untuk mengontrol infeksi. Penyedia perawatan kesehatan akan menempatkan
tabung dada untuk benar-benar mengeringkan nanah..
Penatalaksanaan
medis :
A.
Pengosongan Nanah
Prinsip penatalaksaan ini seperti
umumnya yang dilakukan pada abses untuk mencegah efek toksiknya.
1. Closed drainage-tube toracostorry water
sealed drainage dengan indikasi:
§
Nanah sangat kental dan sukar
diaspirasi.
§
Nanah terus terbentuk setelah dua
minggu.
§
Terjadinya piopneumotorak.
WSD dapat juga dibantu
dengan pengisapan negative sebesar 10-20 cmH2O jika setelah 3-4
minggu tidak ada kemajuan, harus ditempuh cara lain seperti pada empiema
kronis.
2. Drainage terbuka (Open drainage)
Dilakukan dengan menggunakan kateter
karet yang besar, oleh karenanya disertai juga dengan reaksi tulang iga. Open
drainage ini juga dikerjakan pada empiema kronis, hal ini bisa terjadi akibat
pengobatan yang terlambat atau tidak adekuat, misalnya aspirasi yang
terlambat/tidak adekuat, darnase tidak adekuat atau harus sering
mengganti/membersikan drain.
B.
Antibiotic
Mengingat kematian utama karena sepsis,
maka antibiotic memegang peranan penting. Antibiotic harus segera
diberikan begitu diagnose ditegakkan dan
dosisnya harus adekuat. Pemilihan antibiotic didasarkan pada pengecatan gram
dan asupan nanah. Pengobatan selanjutnya bergantung pada hasil kultur dan
sensitivitasnya. Antibiotic dapat diberikan secara sistemik atau topical.
Biasanya diberikan Penicillin.
C.
Penutupan Rongga Empiema
Pada empiemamenahun sering kali rongga empiema tidak menutup
karena penebalan dan kekakuan pleura. Pada keadaan demikian dilakukan
pembedahan(dekortikasi) atau torakoplasti.
1. Dekortikasi
Tindakan ini termasuk operasi besar, dilakukan dengan
indikasi berikut:
§
Drain tidak berjalan baik karena
banyak kantong-kantong
§
Letak empiema sukar dicapai oleh drain
§
Empiema totalis yang mengalami oganisasi
pada pleura viseralis
2.Torakoplasti
Alternative untuk
torakoplasti diambil jika empiema tidak kunjung sembuh karena adanya fistel
bronkopleura atau tidak mungkin dilakukan dekortikasi. Pada pembedahan ini
segmen dari tulang iga dipotong subperiostal. Dengan demikian dinding torak
jatuh ke dalam rongga pleura karena tekanan atmosfir.
D.
Pengobatan Kausal
Misalnya pada subrenik abses dengan drainase
subdiafragmatika, terapi spesifik pada amoebiasis dan sebagainya.
E.
Pengobatan Tambahan
Perbaiakan keadaan umum, fisioterapi untuk
membebaskan jalan napas.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1
PENGKAJIAN
1)
Biodata
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, pakerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor registrasi
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, pakerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor registrasi
2)
Keluhan
utama
Sering menjadi
alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan adalah sesak nafas.
3)
Riwayat
kesehatan sekarang
Keluhan yang sering
muncul antara lain:
·
Sesak
napas
·
Nyeri
dada
·
Panas
tinggi
·
Lemah
4)
pemeriksaan
fisik
·
inspeksi
pada klien dengan
empiema, jika akumulasi pus lebih dari 300 ml, perlu di usahahkan peningkatan
upaya dan frekuensi pernapasan, serta penggunaan otot bantu pernapasan. Gerakan
pernapasan ekspansi dada yang asimetris (pergerakan dada tertinggal pada sisi
yang sakit), iga melebar, rongga dada asimetris (cembung pada sisi ang sakit).
Pengkajian batuk yang produktif dengan sputum purulen. Trakhea dan jantung
terdorong ke sisi yang sehat.
·
Palpasi
Taktil fremitus
menururn pada sisi yang sakit. Di sampung itu, pada palpasi juga ditemukan
pergerakan dinding dada yang teringgal pada dada yang sakit. Pada sisi yang
sakit, ruang antar-iga dapat kembali normal atau melebar.
·
Perkusi
Terdengar suara
ketok pada sisi yang sakit, redum sampai pekak sesuai banyaknya akumulasi pus
di rongga pleura. Batas jantung terdorong ke arah thoraks yang sehat. Hal ini
terjadi apabila tekanan intrapleura tinggi.
·
Auskultasi
Suara napas menurun
sampai menghilang pada sisi yang sakit. suara pernapasan menunjukkan intensitas yang rendah,
biasanya ekspirasi memanjang, vocal fremitus menurun, suara pernapasan tambahan
kadang-kadang terdengar sonor dan atau ronchi, rale halus pada akhir inspirasi.
5)
Pola
aktivitas/istirahat
Data : keletihan,
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit bernapas, ketidakmampuan untuk tidur.
Tanda : keletihan, gelisah,
insomnia, lemah.
6) Sirkulasi
Data : tampak lemah,
jantung berdebar-debar.
Tanda : peningkatan tekanan darah,
peningkatan frekuensi jantung, pucat.
7) Pola hygiene
Data : penurunan
kemampuan/peningkatan aktivitas sehari-hari.
Tanda : kebersihan buruk, bau badan.
8) Pola nutrisi
Data : mual, muntah,
nafsu makan buruk, penurunan berat badan.
Tanda : turgor kulit buruk, edema,
berkeringat.
9) Rasa nyaman
Data : nyeri, sesak.
Tanda : gelisah, meringis.
10) Keadaan fisik
Data : badan terasa
panas, pusing.
Tanda : suhu, nadi, nafas, dan
tekanan darah meningkat, hipertermia.
11) Pemeriksaan Penunjang
§ Pemeriksaan Radiologis
a.
Cairan
pleura bebas dapat terlihat sebagai gambaran tumpul di sudut kostofrenikus pada
posisi posteroanterior atau lateral.
b.
Organ-organ
mediastinum terlihat terdorong ke sisi yang berlawanan dengan efusi.
§ Pemeriksaan Ultrasonografi
a.
Pemeriksaan
dapat menunjukkan adanya septa atau sekat pada suatu empiema yang terlokalisir.
b.
Pemeriksaan
ini juga dapat membantu untuk menentukan letak empiema yang perlu dilakukan
aspirasi atau pemasangan pipa drain.
§ Pemeriksaan CT scan
Pemeriksaan CT scan dapat
menunjukkan adanya suatu penebalan dari pleura.
3.2 DIAGNOSA
1)
Bersihan
jalan nafas tidak efektif yang berhubungan dengan peningkatan sekret terhadap infeksi
pada rongga pleura
2)
Ketidak
efektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan menurunnya eskpansi paru
sekunder terhadap akumulasi pus dan peningkatan tekanan positif dalam rongga
pleura
3)
Gangguan
pemenuhan kebutuhan gizi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan
peningkatan metabolisme tubuh, penurunan nafsu makan akibat sesak nafas
sekunder terhadap penekanan struktur abdomen
4)
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan perubahan respon pernapasan
terhadap aktivitas
5)
Cemas
yang berhubungan dengan adanya ancaman kematian yang dibayangkan
(ketidakmampuan untuk bernafas)
6)
Kurang
pengetahuan yang berhubungan dengan informasi tentang proses penyakit dan
pengobatan
3.3 INTERVENSI
1)
Bersihan
jalan nafas tidak efektif yang berhubungan dengan peningkatan sekret terhadap infeksi
pada rongga pleura
Tujuan : setelah dilakukan tindakan
keperawatan 2×24 jam bersihan jalan nafas menjadi efektif
KH :
·
Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki
bersihan jalan nafas, misal
batuk efektif dan mengeluarkan sekret.
·
tidak ada ronchi
·
tidak ada wheezing
Intervensi
|
Rasional
|
Auskultasi adanya bunyi nafas dan catat adanya
bunyi nafas seperti wheezing, ronchi.
|
Bunyi nafas menurun atau tak ada bila jalan nafas
obstruksi terhadap kolaps jalan nafas kecil. ronchi dan wheezing
menyertai obstruksi jalan nafas.
|
Kaji/pantau frekuensi pernapasan.
Catat rasio inspirasi/ekspirasi
|
takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan
dapat ditemukan pada penerimaan atau selama stress/ adanya proses infeksi
akut
|
Observasi dan catat batuk dan sekret.
|
Kongesti alveolar mengakibatkan batuk kering.
Sputum darah dapat diakibatkan oleh kerusakan jaringan.
|
Bantu klien latihan nafas dalam dengan keadaan
semifowler. Tunjukkan cara batuk efektif dengan cara menekan dada dan batuk.
|
Nafas dalam memudahkan ekspansi maksimum paru
atau jalan lebih kecil. Batuk adalah mekanisme pembersihan jalan nafas yang
alami, membantu silia untuk mempertahankan jalan nafas paten. Penekanan
menurunkan ketidaknyamanan dada dan posisi duduk memungkinkan upaya nafas
lebih dalam dan lebih kuat.
|
Kolaborasi
Berikan obat sesuai indikasi (Mukolitik, ekspektoran, bronkodilator).
|
merilekskan otot halus dan menurnkan kongesti
local, menurunkan spasme jalan napas, mengi, dan produksi mucus.
|
2)
Ketidak
efektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan menurunnya eskpansi paru
sekunder terhadap akumulasi pus dan peningkatan tekanan positif dalam rongga
pleura
Tujuan :
dalam waktu 2 x 24 jam setelah diberikan intervensi klien mampu mempertahankan fungsi paru secara normal
KH :
irama, frekuensi, dan kedalaman pernafasan berada dalam batas normal, pada pemeriksaan rontgen thoraks
tidak ditemukan adanya akumulasi cairan, dan bunyi nafas terdengar
jelas
Intervensi
|
Rasional
|
Kaji dan catat
kualitas, frekuensi, dan kedalaman pernapasan, serta melaporkan setiap
perubahanbyang terjadi
|
Dengan mengkaji
kualitas, frekuensi, dan kedalaman pernafasan, kita dapat mengetahui sejauh
mana perubahan kondisi klien
|
Observasi
tanda-tanda vital (nadi dan pernafasan)
|
Peningkatan
frekuensi nafas dan takikardi merupakan indikasi adanya penurunan fungsi paru
|
Bantu dab ajarkan
klien untuk batuk dan nafas dalam yang efektif
|
Menekan daerah
yang nyeri ketika batuk atau nafas dalam. Penekanan otot-otot dada serta
abdomen membuat batuk lebih efektif
|
Kolaborasi dengan
tim medis lain untuk pemberian O2 dan obat-obatan serta foto
thoraks
|
Pemberian O2
dapat menurunkan beban pernafasan dan mencegah terjadinya sianosis akibat
hipoksia. Dengan foto thoraks dapat dimonitor kemajuan dan berkurang nya
cairan dan kembalinya daya kembang paru
|
3)
Gangguan
pemenuhan kebutuhan gizi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan
peningkatan metabolisme tubuh, penurunan nafsu makan akibat sesak nafas
sekunder terhadap penekanan struktur abdomen
Tujuan : setelah dilakukan tindakan
keperawatan 2×24 jam kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.
KH :
- Nafsu makan meningkat
- BB meningkat atau normal sesuai umur
Intervensi
|
Rasional
|
Diskusikan
dan jelaskan tentang pembatasan diet (makanan berserat tinggi, berlemak dan
air terlalu panas atau dingin.
|
Serat
tinggi, lemak,air terlalu panas / dingin dapat merangsang mengiritasi lambung
dan sluran usus. Menciptakan lingkungan yang bersih, jauh dari bau yang
tak sedap atau sampah, sajikan makanan dalam keadaan hangat.
|
Ciptakan
lingkungan yang bersih, jauh dari bau yang tak sedap atau sampah,
sajikan makanan dalam keadaan hangat.
|
Situasi
yang nyaman, rileks akan merangsang nafsu makan.
|
Berikan
jam istirahat (tidur) serta kurangi kegiatan yang berlebihan.
|
Mengurangi
pemakaian energi yang berlebihan.
|
Monitor
intake dan out put dalam 24 jam.
|
Mengetahui
jumlah output dapat merencenakan jumlah makanan.
|
Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :
a. Terapi gizi : Diet TKTP rendah serat, susu
b. Obat-obatan atau vitamin
|
Mengandung
zat yang diperlukan , untuk proses pertumbuhan.
|
4)
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan perubahan respon pernapasan
terhadap aktivitas
Tujuan : setelah
dilakukan tindakan keperawatn 2×24 jam intoleransi aktivitas dapat teratasi.
KH : melaporkan
peningkatan toleransi aktivitas terhadap aktivitas yang dapat diukur dengan tak adanya
dypsnea, kelemahan berlebihan, dan tanda – tanda vital dalam
rentang normal ( RR: 16-20 x /menit Nadi : 60-100 x/ mnt ).
Intervensi
|
Rasional
|
Evaluasi respon pasen terhadap aktivitas. Catat
laporan dypsnea, peningkitan kelemahan, dan perubahan tanda-tanda vital.
|
Pasien mungkin nyaman dengan posisi kepala tinggi,
tidur di kursi atau menunuduk ke depan meja.
|
Bantu pasien memilih posisi yang nyaman untuk
aktivitas dan istirahat.
|
Menurunkan stress dan rangsangan berlebih,
meningkatkan istirahat.
|
Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana
pengobatan dan perlunya keseimbangan aktivitas dan istirahat.
|
Tirah baring dipertahankan selama fase akut
untuk menurunkan kebutuhan metabolik, menghemat energi untuk penyembuhan.
Pembatasan aktivitas ditentukan dengan respon individual terhadap aktivitas
dan perbaikan kegagalan pernafasan.
|
Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan.
Berikan peningkatan kemajuan aktivitas selama fase penyembuhan.
|
meminimalkan kelelahan dan membantukeseimbangan
suplai dan kebutuhan oksigen.
|
5)
Cemas
yang berhubungan dengan adanya ancaman kematian yang dibayangkan
(ketidakmampuan untuk bernafas)
Tujuan : dalam waktu 1 x 24 jam klien mampu memahami dan
menerima keadaanya sehingga tidak terjadi kecemasan
KH : klien terlihat mampu
bernafas secara normal dan mampu beradaptasi dengan keadaan nya.
Respons non verbal klien tampak lebih rileks dan santai
Intervensi
|
Rasional
|
Jelaskan tujuan tarapi pada klien
|
Mengorientasikan program terapi, membantu
menyadarkan klien untuk memperoleh kontrol
|
Ajarkan tindakan untuk membantu
mengontrol dispnea
|
Pengontrolan dipsnea melalui diet
seimbang, istirahat cukup dan aktifitas yang dapat ditoleransi
|
Ajarkan klien melakukan latihan
napas
|
Latihan napas dengan spirometri
insentif , latihan efek paru atau latihan posterior paru atau latihan area
iga lateral bawah
|
Jelaskan bahayanya infeksi dan
cara menurunkan resiko
|
Mencega infeksi, baik skunder
maupun primer yang mungkin diakibatkan oleh gangguan napas
|
6)
Kurang
pengetahuan yang berhubungan dengan informasi tentang proses penyakit dan
pengobatan
Tujuan : pasien mampu melakukan
perubahan gaya hidup dan mau berpartisipasi
dalam program
pengobatan.
KH : pengetahuan klien meningkat
Intervensi
|
Rasional
|
Jelaskan
proses penyakit individu.
|
Menurunkan
ansietas dan dapat menimbulkan perbaikan
|
Diskusi pentingnya
mengikuti perawatan medik (Foto Thoraks dan kultur sputum)
|
Pengawasan proses
penyakit untuk membuata program therapy .
|
Kaji
kebutuhan / dosis oksigen untuk pasien
|
Menurunkan resiko
kesalahan penggunaan oksigen dan komplikasi lanjut.
|
Kaji efek
bahaya merokok dan nasehatkan untuk menghentikan rokok.
|
Penghentian
merokok dapat menghambat kemajuan PPOM
|
BAB IV
PENUTUP
4.1
KESIMPULAN
Empiema
adalah suatu penyakit yang menyerang sistem Respirasi, dimana pengertian
penyakit Empiema tersebut adalah suatu gangguan pada paru-paru karena
terkumpulnya pus/nanah pada rongga pleura, yang dapat megisi satu lokasi pleura
maupun seluruh rongga pleura.
Penyebap
empiema dibagi menjadi 3 berdasarkan asalnya yaitu yang berasal dari
paru-paru itu sendiri seperti Pneumonia dan abses paru, kemudian yang kedua
berasal dari adanya infeksi dari luar, misalnya trauma dari tumor, dan
pembedahan otak, yang terakhir berasal dari bakteri, misalnya Streptococcus
pyogenes, bakteri gram negative, dan bakteri anaerob.
Penatalaksanaan
Empiem dapat berupa intervensi keperawatan maupun medis. Selain itu dapat juga
dari kolaborasai dengan tim kesehatan yang lainnya.
Mengetahui
konsep asuhan keperawatan Empiema dan konsep Empiema itu sendiri sangat penting
untuk mengetahui tindakan apa yang sebaiknya dilakukan baik oleh perawat maupun
tim kesehatn lainya.
4.2
SARAN
Kepada
tim kesehatan, terutam perawat diharpakan untuk lebih mencermati keadaan pasien
sebelum dan sesudah
melakukan tindakan. Kesalahan kecil, dapat berimbas kepada kesalahan-kesalahan
yang lain.
Memperluas
wawasan mengenai konsep asuhan keperawatan yang tepat terhadap berbagai
penyakit, dalam hal ini penyakit yang menyerang sistem Respirasi, menjadi hal
yang wajib untuk diketahui dan dilakukan oleh perawat professional.